Sejumlah besar tanaman pulp Indonesia berada pada lahan gambut - berkontribusi pada kebakaran lahan, perubahan iklim
Penanaman pohon penghasil kayu pulp di lahan gambut di Indonesia mengancam kesehatan manusia dan berdampak terhadap kegiatan perekonomian.
Peatland forest clearance in Kalimantan // Ulet Ifansasti, Greenpeace
Indonesia merupakan pemilik gambut tropis terluas di dunia, yang menyimpan sejumlah besar karbon – lebih banyak daripada hutan hujan dataran tinggi di Indonesia. Hingga saat ini, lebih dari 1 juta hektare lahan gambut dikonversi menjadi hutan tanaman pulp, sekitar 41% total tanaman pulp Indonesia (lihat Gambar 1).
Penanaman pulp pada lahan gambut dilakukan setelah mengeringkannya, sehingga melepas sejumlah besar emisi karbon dan berisiko kesehatan oleh bencana kebakaran. Ketika lahan gambut dikeringkan, tanahnya akan melepas emisi karbon ke atmosfir, dan pelepasan emisi ini hanya dapat dihentikan dengan mengembalikannya ke kondisi semula agar kembali terendam air. Hutan tanaman pada gambut yang dikeringkan melepas emisi karbon rata-rata 100 ton/hektare/tahun. Di area seperti ini penataan air terbaik sekalipun, menurut ahli gambut tropis, hanya mampu mengurangi laju emisi karbon 20%.
Resiko kebakaran lahan gambut yang semakin meningkat
Gambut yang dikeringkan akan sedemikian mudah terbakar, sehingga melepas karbon jauh lebih besar. Tegakan pulp di lahan gambut merupakan salah satu area yang mengalami kebakaran hebat pada 2015 dan 2019. Sebagai perbandingan, meski luas area terbakar di Amazon pada 2019 lebih besar, tapi total emisi oleh kebakaran di Indonesia lebih tinggi karena emisi gambut terbakar yang sedemikian tinggi.
Gambut yang terbakar akan mengeluarkan asap pekat, yang membahayakan kesehatan jutaan orang – terutama balita dan ibu hamil – bahkan turut berkontribusi pada kematian dini. Saat asap oleh kebahakaran hutan dan lahan menyelimuti Indonesia dan negara tetangga, seperti Singapura, penduduk terpaksa mengurung diri dalam rumah demi menghindari polusi udara berbahaya. Sekolah ditutup dan penerbangan dibatalkan. Perkiraan kerugian ekonomi oleh bencana kebakaran 2015 dan 2019 masing-masing senilai Rp. 221 triliun dan Rp. 73 triliun.
Data kebakaran pada area hutan tanaman disediakan oleh pemerintah Indonesia, yang juga dirujuk oleh platform Trase. Pada 2015, kebakaran di konsesi HTI pemasok pabrik pulp Indonesia mencapai 366.000 hektare (lihat Gambar 2 dan 3). Pada 2019, hampir 100.000 hektare konsesi ini mengalami kebakaran lagi.
Kebakaran pada waktu yang akan datang bisa jadi akan lebih dahsyat, mengingat perubahan iklim turut mengakibatkan intensitas El Niño akan makin tinggi. Meski perusahaan pulp besar menyatakan akan memitigasinya dengan pengaturan tinggi muka-air, namun ahli gambut tetap mengingatkan bahwa sepanjang tinggi muka-air di area tersebut tidak dikembalikan ke kondisi semula tetap saja potensi kebakaran mengintai.
Perlunya aksi yang lebih efektif
Dua produsen utama pulp, Sinar Mas dan Royal Golden Eagle, telah menyatakan komitmen mengelola gambut secara bertanggung jawab dan tidak menerima pasokan dari pembukaan baru lahan gambut. Akan tetapi, Trase memperlihatkan bahwa keduanya masih membeli bahan baku dari pemasok yang sebagaian tanamannya dibangun pada gambut yang dikeringkan (lebih dari separuh pemasok Sinar Mas dan lebih dari sepertiga pemasok Royal Golden Eagle).
Meski pembangunan tanaman pada pembukaan gambut baru makin berkurang, tapi tak satupun dari kedua grup tersebut menyatakan komitmen untuk secara bertahap keluar dari lahan gambut. Tanpa aksi yang secara bertahap keluar dari lahan gambut, industri pulp Indonesia akan tetap mengeluarkan emisi karbon secara signifikan yang berpotensi mengganggu kesehatan warga Indonesia pada waktu yang akan datang.
Was this article useful?